Friday, November 16, 2007

PAKEM... bisa gak ya???

PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

DALAM UPAYA MEWUJUDKAN ”PAKEM” 1)

Khresna Bayu Sangka 2)

"Technology can make our lives easier. Everyday tasks are simplified”, Hjetland (1995). Teknologi informasi telah mengubah cara manusia bekerja, teknologi dapat mempermudah tugas serta meningkatkan prestasi guru, seperti penggunaan teknologi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan pelakasanaan pembelajaran.

PAKEM dan Sensitivitas Guru

Jika kita mau membuka mata tanpa prasangka terhadap dunia pendidikan yang berkembang saat ini, kita akan melihat sebuah fenomena pendidikan yang khas, terutama menyangkut tiga pilar, yaitu:

  1. transparansi manajemen
  2. pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAKEM); dan
  3. peran serta masyarakat.

Tiga pilar manajemen berbasis sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF -UNESCO - Pemerintah Indonesia untuk semua sekolah di seluruh Tanah Air tampaknya sudah menjadi sumsum, tulang, dan darah bagi pelaksanaan pendidikan kita. Pembelajaran yang menyenangkan bukan semata-mata pembelajaran yang mengharuskan anak-anak untuk tertawa terbahak-bahak, melainkan sebuah pembelajaran yang di dalamnya terdapat kohesi yang kuat antara guru dan murid dalam suasana yang sama sekali tidak ada tekanan. Yang ada hanyalah jalinan komunikasi yang saling mendukung.

1) Disampaikan dalam Bimbingan Teknis Layanan Pascapenempatan bagi Guru Pemula (Guru SMP)

14-15 November 2007, UNS Solo.

2) Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Ekonomi, FKIP UNS Solo.

Pembelajaran yang membebaskan, menurut konsep Paulo Fraire, adalah pembelajaran yang di dalamnya tidak ada lagi tekanan, baik tekanan fisik maupun psikologis. Sebab, tekanan apa pun namanya hanya akan mengerdilkan pikiran siswa, sedangkan kebebasan apa pun wujudnya akan dapat mendorong terciptanya iklim pembelajaran (learning climate) yang kondusif.

Dalam konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning), roh pembelajaran ada pada bagaimana hubungan antara guru dan murid dapat dijalin dengan pendekatan didaktik metodik yang bernuansa resmi dan sangat "pedagogis". Artinya, interaksi antara guru dan murid tidak dijalin dengan komunikasi yang "kaku" seperti "orang yang serba tahu" dengan "anak yang serba tidak tahu".

Sensitivitas guru yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana guru dapat mengembangkan kepekaan-kepekaan pedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran, bukan perilaku sensitif yang bermakna konotatif. Dengan demikian, sensitivitas guru merupakan kepekaan dalam kerangka konteks pembelajaran.

Sensitivitas dalam konteks pembelajaran tampak dari bagaimana seorang guru mampu menangkap apa yang diinginkan siswanya, bukan pada apa yang harus diperolehnya. Dengan demikian, sensitivitas guru lebih mengarah kepada upaya untuk memberikan pelayanan secara prima kepada siswa-siswinya. Pelayanan semacam ini akan terwujud manakala guru benar-benar dapat memerankan diri sebagai fasilitator, bukan sebagai orang yang harus dilayani.

Rasanya, kita sudah terlalu penat dengan model pembelajaran yang sentralistik dan memaksa guru untuk selalu nrima ing pandhum (menerima apa adanya) serta hanyut dalam apatisme dan kepasrahan yang tidak proporsional. Kini saatnya, ketika desentralisasi pendidikan sedang digulirkan dan paradigma baru pendidikan kita dikembangkan, tidak ada jalan lain kecuali kita harus secara terus-menerus memberdayakan guru dengan mengembangkan sensitivitas dan kreativitasnya. Tanpa itu semua, pendidikan akan berjalan di tempat dan kita sulit untuk menjadi "pemenang" yang elegan, bahkan kita hanya akan menjadi "pecundang" yang kehilangan jati diri.

PAKEM dan Teknologi Informasi

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Salah satu sarana untuk menjembatani perubahan mutu pendidikan adalha dengan melaksanaan PAKEM dengan menggunakan teknologi informasi, baik dengan menggunakan peralatan sederhana maupun peralatan yang rumit dan mahal harganya.

Secara jujur harus diakui, bahwa masih terdapat berbagai masalah dalam melaksanakan pola PAKEM dalam sebuah pembelajaran, karena:

  1. proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan. Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam alias bisu dan siswa patuh dengan komando. Suasana kelas pun seringkali berubah mirip ruang karantina untuk “mencuci otak” siswa didik. Pembelajaran jauh dari dialog, bercurah pikir, apalagi dialog interaktif. Siswa yang kritis dan sering bertanya justru sering diberi stigma sebagai siswa “ngeyelan” dan cerewet. Siswa ber-”talenta” semacam itu tak jarang memancing adrenalin emosi guru yang tidak siap menjawab pertanyaan siswa. Dengan otoritas yang dimilikinya, guru bak sipir penjara yang tengah mengawasi perilaku narapidana (tengok di sini, di sini, dan di sini).
  2. dunia persekolahan kita masih jauh dari sentuhan teknologi informasi dan komunikasi. Memang, sudah banyak sekolah yang telah menjadi clien ICT. Namun, sudahkah guru memaksimalkan penggunaannya untuk kepentingan pembelajaran? Ini sebuah “penyakit” yang sering kambuh dalam dunia pendidikan kita. “Pintar melakukan pengadaan barang, tapi gagap dalam merawat, memelihara, dan mengoperasikannya”. Nilai gengsi dan prestise lebih diutamakan ketimbang substansi kepentingan dan manfaatnya.
  3. belum ada perubahan paradigma pendidikan dalam dunia persekolahan kita. Meskipun sistem telah berubah, dari sentralistis ke desentralistis, tapi gaya pengelolaan dunia persekolahan kita tak ada bedanya dengan yang dulu-dulu. Kepemimpinan sekolah masih bergaya feodalistis bak borjuis kecil. Para penyelenggara pendidikan yang seharusnya melayani, tetapi justru minta dilayani. Praktik pendidikan pun masih selalu menunggu petunjuk dari atas; miskin kreativitas dan inovasi. Sekolah banyak mendapatkan droping peralatan dan fasilitas, tapi mereka tidak pernah mau belajar bagaimana cara menggunakannya. Tidak heran apabila subsidi perangkat televisi yang seharusnya sudah dimanfaatkan mengakses siaran TV-Education, masih banyak yang “ndongkrok”, bahkan masih terbungkus rapi.
  4. pemberdayaan profesionalisme guru yang masih “jalan di tempat”. Kini, era digital sudah merasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat di negeri ini. Dunia maya mampu menyajikan berbagai informasi terbaru, menarik, dan aktual. Namun,sudah banyakkah rekan-rekan guru di negeri ini yang telah mencoba mengaksesnya untuk kepentingan pembelajaran? Dalam hal mengakses informasi, guru tak jarang “kalah bersaing” dengan murid-muridnya. “Siswa didiknya sudah melaju mulus di atas jalan tol, tetapi sang guru masih bersikutat di balik semak belukar”.Mereka sudah biasa mengakses internet, baik milik orang tuanya maupun warnet, dan sudah begitu akrab dengan istilah-istilah dasar “ngenet”, seperti browsing, search engine, e-mail, atau chatting. Oleh karena itu, sungguh pandangan yang keliru kalau pada abad gelombang informasi seperti sekarang ini masih ada seorang guru yang masih memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak ”gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah selalu dimanja dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal.

Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada. Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa dimanfaatkan secara bergiliran –sesuai jadwal– oleh guru dari berbagai mata pelajaran. Di kelas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD, scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif, dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalamdalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak malu bertanya.

Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya

serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka. Bagaimana dengan kita para guru, siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya?.

Dalam konteks pembelajaran berbasis TIK, marilah kita tumbuhkan minat dan kemauan yang besar untuk sama-sama belajar dan saling berbagi informasi. Sekarang ini sudah terbuka lebar kran informasi dan sumber-sumber belajar baik

melalui buku-buku atau media elektronik.

  1. Jangan berkutat pada satu buku referensi saja, kalau tidak mau dikatakan “gaptek”.
  2. Jangan pernah merasa sudah cukup pintar, jika demikian maka anda akan seperti katak dalam tempurung.
  3. Sesekali kunjungi situs-situs internet yang menyajikan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat memperluas cakrawala pengetahuan. Sepatutnya kita berterimakasih kepada pemerintah yang sudah tanggap akan kebutuhan informasi. Sekarang ini kita sudah bisa akses internet secara gratis melalui jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) untuk sekolah-sekolah yang sudah terjangkau. Manfaatkan fasilitas tersebut secara optimal, gunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Pembelajaran Berbasis Multimedia

Media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Pada hakikatnya proses belajar-mengajar merupakan suatu bentuk komunikasi dimana siswa tidak hanya terpaku pada penjelasan guru, tetapi siswa juga dapat menggunakan media-media penunjang pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis multimedia adalah suatu metode pembelajaran dengan menggunakan perangkat multimedia sebagai sarana utamanya. Dalam hal ini, komputer merupakan komponen utama dalam pembelajaran Kemp dan Dayton (1985) mengemukakan manfaat penggunaan media dalam pembelajaran adalah:

a) penyampaian materi dapat diseragamkan;

b) proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik;

c) proses pembelajaran menjadi lebih interaktif;

d) efisiensi waktu dan tenaga;

e) meningkatkan kualitas hasil belajar siswa;

f) media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja;

g) media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar; dan

h) mengubah peran guru kearah yang lebih positif dan produktif.

Penggunaan media dalam pembelajaran memang sangat disarankan, tetapi dalam penggunaannya tidak semua media baik. Ada hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan media, antara lain tujuan pembelajaran, sasaran didik, karakteristik media yang bersangkutan, waktu, biaya, ketersediaan sarana, konteks penggunaan, dan mutu teknis. Penggunaan media yang tepat akan sangat menunjang keberhasilan dalam proses pembelajaran. Sebaliknya, penggunaan media yang tidak tepat hanya akan menghambur-hamburkan biaya dan tenaga, terlebih bagi ketercapaian tujuan pembelajaran akan jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai salah satu sarana pembelajaran, sekolah harus dapat menyediakan media yang tepat untuk menunjang aktivitas siswa dalam belajar agar tidak jenuh dalam menerima pembelajaran di sekolah.

Penggunaan Multimedia

Pembelajaran dengan menggunakan multimedia untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, namun bukan berarti dalam prakteknya tidak ada hambatan. Hambatan utama adalah disebabkan adanya kesalahan konsep yang terjadi ketika kelompok ahli menerangkan kembali ke kelompok asal. Kesalahan terutama terjadi pada materi pembelajaran yang bersifat abstrak. Disamping itu, waktu yang diperlukan untuk proses pembelajaran menjadi relatif lebih lama. Seringkali waktu pelajaran habis sebelum cakupan materi terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif untuk menyempurnakan pendekatan pembelajaran ini. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan multimedia pembelajaran. CD interaktif (misalnya dikembangkan oleh MGMP dengan supervisi dari berbagai pihak terkait) yang berisikan materi-materi pembelajaran dianggap cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul pada proses pembelajaran. Keuntungan pembelajaran interaktif berbasis multimedia antara lain:

1. Media dapat membuat materi pelajaran yang abstrak menjadi lebih konkrit/nyata, sehingga mudah diterima siswa,

2. Media dapat mengatasi kendala ruang dan waktu. Siswa yang belum memahami materi dapat mengulang materi tersebut di rumah sama persis dengan yang dibahas dalam kelompok,

3. Informasi pelajaran yang disajikan dengan media yang tepat akan memberikan kesan yang mendalam pada diri siswa,

4. Penggunaan media pembelajaran yang tepat akan dapat merangsang perbagai macam perkembangan kecerdasan.

5. Dapat menyeragamkan materi pembelajaran dan mengurangi resiko kesalahan konsep.

Perkembangan teknologi dewasa ini banyak mengarah pada penggunaan sarana audiovisual sebagai sarana pembelajaran. CD pembelajaran interaktif dewasa ini cukup mudah untuk diperoleh, komputer pun saat ini sudah sangat terjangkau. Proses pembelajaran dengan menggunakan seperangkat teknologi ini dikenal dengan pembelajaran berbasis multimedia. Pembelajaran berbasis multimedia mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan media papan tulis dan kapur.

Pembelajaran berbasis multimedia melibatkan hampir semua unsur-unsur indera. Penggunaan multimedia dapat mempermudah siswa dalam belajar dan juga waktu yang digunakan lebih efektif dan efisien. Selain itu pembelajaran dengan menggunakan multimedia akan sangat meningkatkan motivasi belajar siswa. Dimana dengan motivasi yang meningkat maka prestasi pun akan dapat diraih lebih optimal. Penggunaan multimedia dalam pembelajaran juga akan mengenalkan sedini mungkin pada siswa akan teknologi.

Pemanfaatan Internet

Dewasa ini, penggunaan internet telah merasuk pada hampir semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, hiburan, bahkan keagamaan. Pendeknya apa saja yang dapat terpikirkan! Kita dapat mengetahui berita-berita teraktual hanya dengan mengklik situs-situs berita di web. Demikian pula dengan kurs mata uang atau perkembangan di lantai bursa, internet dapat menyajikannya lebih cepat dari media manapun.

Para akademisi merupakan salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan kemunculan internet. Aneka referensi, jurnal, maupun hasil penelitian yang dipublikasikan melalui internet tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Para mahasiswa tidak lagi perlu mengaduk-aduk buku di perpustakaan sebagai bahan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Cukup dengan memanfaatkan search engine, materi-materi yang relevan dapat segera ditemukan.

Selain menghemat tenaga dalam mencarinya, materi-materi yang dapat ditemui di internet cenderung lebih up-to-date. Buku-buku teks konvensional memiliki rentang waktu antara proses penulisan, penerbitan, sampai ke tahap pemasaran. Kalau ada perbaikan maupun tambahan, itu akan dimuat dalam edisi cetak ulangnya, dan itu jelas membutuhkan waktu. Kendala semacam ini nyaris tidak ditemui dalam publikasi materi ilmiah di internet mengingat meng-upload sebuah halaman web tidaklah sesulit menerbitkan sebuah buku. Akibatnya, materi ilmiah yang diterbitkan melalui internet cenderung lebih aktual dibandingkan yang diterbitkan dalam bentuk buku konvensional.

Kelebihan sarana internet yang tidak mengenal batas geografis juga menjadikan internet sebagai sarana yang ideal untuk melakukan kegiatan belajar jarak jauh, baik melalui kursus tertulis maupun perkuliahan. Tentu saja ini menambah panjang daftar keuntungan bagi mereka yang memang ingin maju dengan memanfaatkan sarana internet. Internet juga berperan penting dalam dunia ekonomi dan bisnis. Dengan hadirnya e- commerce, kegiatan bisnis dapat dilakukan secara lintas negara tanpa pelakunya perlu beranjak dari ruangan tempat mereka berada.

e-Learning

Istilah e-Learning dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk penerapan teknologi informasi di bidang pendidikan dalam bentuk sekolah maya. Definisi e-Learning sendiri sebenarnya sangat luas, bahkan sebuah portal informasi tentang suatu topik juga dapat tercakup dalam e-Learning ini. Namun istilah e-Learning lebih tepat ditujukan sebagai usaha untuk membuat sebuah transformasi proses belajar- mengajar di sekolah dalam bentuk digital yang dijembatani oleh teknologi Internet dan multimedia.

Dalam teknologi e-Learning, semua proses belajar-mengajar yang biasa ditemui dalam sebuah ruang kelas, dilakukan secara live namun virtual, artinya dalam saat yang sama, seorang guru mengajar di depan sebuah komputer yang ada di suatu tempat, sedangkan para siswa mengikuti pelajaran tersebut dari komputer lain di tempat yang berbeda. Dalam hal ini, secara langsung guru dan siswa tidak saling berkomunikasi, namun secara tidak langsung mereka saling berinteraksi pada waktu yang sama.

Semua proses belajar-mengajar hanya dilakukan di depan sebuah komputer yang terhubung ke jaringan internet, dan semua fasilitas yang yang biasa tersedia di sebuah sekolah dapat tergantikan fungsinya hanya oleh menu yang terpampang pada layar monitor komputer. Materi pelajaran pun dapat diperoleh secara langsung dalam bentuk file-file yang dapat di-download, sedangkan interaksi antara guru dan siswa dalam bentuk pemberian tugas dapat dilakukan secara lebih intensif dalam bentuk forum diskusi, mailing list, video and audio chat, blog, dan lain-lain.

Pemanfaatan e-Learning membuahkan beberapa keuntungan, diantaranya dari segi finansial dengan berkurangnya biaya yang diperlukan untuk mengimplementasikan sistem secara keseluruhan jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan bangunan sekolah beserta seluruh perangkat pendukungnya, termasuk pengajar. Dari sisi peserta didik, biaya yang diperlukan untuk mengikuti sekolah konvensional, misalnya transportasi, pembelian buku, dan sebagainya dapat dikurangi, namun sebagai gantinya diperlukan biaya akses internet. Dari sisi penyelenggara, biaya pengadaan e-Learning sendiri dapat direduksi, disamping jumlah peserta didik yang dapat ditampung jauh melebihi yang dapat ditangani oleh metode konvensional dalam kondisi geografis yang lebih luas.

Namun, dibalik segala kelebihan yang ditawarkan, penerapan e-Learning, khususnya di Indonesia masih menyimpan masalah, antara lain pada keterbatasan akses internet serta kurangnya pemahaman masyarakat akan teknologi internet. e-Learning juga kurang cocok untuk digunakan pada level pendidikan dasar dan menengah, khususnya karena kendala sosialisasi. Seperti kita ketahui, tujuan kegiatan belajar-mengajar di sekolah bukan hanya untuk menimba ilmu pengetahuan, melainkan juga melatih anak untuk bersosialisasi dengan teman sebaya maupun lingkungan di luar rumah. Hal semacam ini tidak bisa didapati dalam sekolah maya via e-Learning. Disamping itu, sistem belajar jarak jauh sangat mensyaratkan kemandirian, sehingga lebih cocok untuk diterapkan pada lembaga pendidikan tinggi maupun kursus.

Songgolangit, 11-11-2007

Daftar Referensi

Malek, Zarina Abd, Kemampuan Mengajar Guru: Teori, Strategi dan Perkaedahan Dalam Pendidikan Komputer, 2005.

Martono, Yulianto Dwi, Pembelajaran berbasis TIK dan Permasalahannya, www.diknas.go.id , 2007.

Sangka, Khresna Bayu, Pengenalan Internet dan Multimedia, Modul Pelatihan Guru Ekonomi Propinsi Kalimantan Timur, 2007.

Sapari, Ahmad, Pendidikan dan Guru Kreatif, www.kompas.com

Sutinah, Andriana, Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia di Sekolah Dasar, Pemkab Ponorogo, 2006.

Tuesday, July 17, 2007

Komersialisasi Pendidikan.... Why Not?

Education and Commercialization: Raising Awareness and Making Wise Decisions

LYNNE SCHRUM
The University of Georgia

We are living in a world of commercialization-everything has a price tag and conspicuous consumption appears to be the way of the western world. The media and politicians remind us that our educational system must prepare our students to be competitive in a global economy. To discuss commercialization in education, we must place it in the current social and economic context. "…The organization of the school, as it is presently constructed, institutionalizes consumer materialism" (Boyles, 1998, p. 4). One result has been a growth in the number and types of partnerships between schools and corporations. We may disagree whether this is the way things should be, but it is the way they currently are, and this presents a challenging conundrum for educators.

This article explores issues regarding commercialization and education. First, it examines the status of commercialization in the K-12 environment. The article then provides a look at reciprocal business and education partnerships, which represent a different type of relationship. Finally, it offers suggestions for dealing with this situation in colleges of education as well as in the K-12 environment.

Current Status

Two significant trends have converged to influence the commercialization of education. The first comes from the perceived reduction in funding for educational institutions in a time of rising costs-or perhaps rising expectation. Schools are being told to find their own funding and reduced resources have led administrators to become fund raisers.

The second trend has more to do with the nature of marketing in America. Young people have large discretionary funds to spend, and they directly influence spending by others. As it has become more difficult to target young audiences (due to more cable channels, video games, and programming on demand), schools have become attractive as an avenue to this largess.

Furthermore, by coupling marketing practices with the promise of advancing teaching goals (such as encouraging literacy or providing direct support for school programs), marketers become important partners in American education. In turn, the schools become partners in the increasing commercialization of American youth. (Wartella, 1995, p. 451)

In public K-12 education, the situation is pervasive. Many individuals and groups raised questions regarding the effects and ethics of using "captive public school audiences to advertise products in return for schools receiving money or equipment" (McCarthy, 1995, p. 5), even before Chris Whittle introduced Channel One. John McLaughlin (1994) concluded that this is not a passing fad, and he was correct. He declared that the relationship between public education and private companies "is more than school-business partnerships; it is a manifestation of the new alignment of the American economy" (p. 5).

A recent study by the U. S. General Accounting Office (GAO) looked extensively at commercial activities in our schools (GAO, 2000). They found that, while advertising was expected to be found on soda pop machines and scoreboards, in actuality advertising was all over the schools they visited, for example, on computers, electronic message boards, and school buses. The GAO classified school commercialization into four categories:

  • Product sales-direct sales that benefit a school, cash or credit rebates, and fundraising activities;
  • Direct advertising-ads in schools, facilities and buses; ads in school publications; media-based advertising, free samples (snack food or personal hygiene products);
  • Indirect advertising-corporate-sponsored educational materials, corporate-sponsored teacher training, corporate-sponsored contests, corporate gifts or grants; and
  • Market research-surveys or polls, internet panels, internet tracking.

This situation has gone far beyond the old "labels for computers" programs, which has had its own problems and critics. Although the use of corporation-sponsored curriculum materials can be traced back to 1890 (GAO, 2000, p. 5), they began as relatively innocuous products. Now companies are driving curriculum in many ways, and most of them are done in the name of "partnerships" or through free curricula. This is not meant to imply that all partnerships are meant to exploit, as will be discussed later in this article, and many examples can be found of companies selflessly giving time and money to solve schools' real problems. But consider these examples:

  • Eli Lilly representatives discuss Prozac to high school students in Washington, DC;
  • Proctor & Gamble sponsors oral hygiene classes in elementary school in return for distributing samples of Crest;
  • The National Soft Drink Association provides a poster titled, "Soft Drinks and Nutrition;
  • the M&M Mars candy company declares nutritional value in their products; and
  • A recent math book, Mathematics: Applications and Connections (McGraw-Hill), currently in use by sixth, seventh, and eighth-grade students in at least 16 US states, inserts products as Barbie dolls, Big Macs, and Oreo cookies right into math problems. For example, "Will is saving his allowance to buy a pair of Nike shoes that cost $68.25. If Will earns $3.25 per week, how many weeks will Will need to save?" (Grierson, 1999; Kaplan, 1996; Molnar, 1996).

If these examples were not alarming enough, new companies exist to create curricular activities based on client companies' products. These materials may be lesson plans, posters, or videos, but they share a goal: to put the sponsor's message in front of students, and to do it disguised as pure education. Consumers Union collected and evaluated examples of these materials and found that 80 % contained biased or incomplete information. Further, over half the materials were found to be commercial or highly commercial (Center for Commercial-Free Public Education, 1998).

Reciprocal Partnerships

It is important to clarify that many excellent relationships exist between individual schools or districts, and corporations, small businesses, communities, or individuals. Individual schools have built sustained and successful partnerships that have endured over many years. School districts have been able to expand the possibilities for their students in myriad ways. And it should be noted that true partnerships go far beyond a company putting its logo on school buses or offering support by underwriting a page of advertisement in the school yearbook. Most of the successful partnerships have one common underlying characteristic: reciprocity. That is, the two entities come together in an equitable relationship, with substantial commitment and benefits identified for both (Parravano, 2001).

An experienced educator turned business executive, who established a successful 10 year program with districts in areas where his company was located, explained that businesses can support schools in many ways. He saw his role and that of his company as an advocate, researcher, anchor, coach, and broker (Parravano, 2001). However, good relationships do not happen by accident. Another experienced educator suggested some guidelines for effective partnerships. First, both parties must commit to a long-term relationship. What may justifiably begin with some skepticism on both sides can turn out to be beneficial for all participants, once all stakeholders make a commitment. On the school side that means teachers, principals, superintendents, and school boards. For the business, it should include top level executives. Goals must be set that match both entities' priorities. Additionally, time must be built in for planning, and goals, projects and timelines should be put in writing. Finally, little successes should be celebrated and publicized widely (You, 2001).

Implications for Teacher Education

It is relatively easy to identify problems in our society, however, doing something positive about these problems is much more difficult. The implications are enormous, for future teachers as well as for our current K-12 community. Future educators are currently buffeted by the prevailing winds of commercialism and calls for improvement from political and business commentary. Further, demands are being made for individuals to enter the education profession with improved techniques and skills, rather than improved and innovative pedagogy based upon praxis and reflection. Meanwhile, colleges of education are struggling to meet state certification requirements, increase "credit hour production, and to satisfy students' demands for getting their money's worth, getting an 'A' or earn merit pay for additional credits" (Boyles, 1998). At the same time, colleges of education face challenges by the proliferation of commercial postgraduate educational opportunities, given the availability and user-friendliness of electronic networks and regional for-profit universities.

As future teachers spend more time in practical experience in schools, they witness the increased commercialization of the curriculum. Unless their methods classes address this issue, they will have little knowledge about the influences and challenges they will face in their own classrooms or of the potential impact or power these educational materials pose. In one example, corporations have encouraged challenges to scientific evidence in the school science curricula by supplying "educational materials that promote clear-cutting of forests while casting doubt on phenomena such as global warming and ozone depletion" (Beder, 1998).

Commercialization, in addition to impacting the K-12 curriculum, also can be found within colleges of education. An argument can be made that preservice educators are in classes by their own volition, and that they are adults, as opposed to K-12 students who are in class by law. However, the same objections to commercialization can be made for the colleges of education. Companies that provide free software are obviously hoping that educators will choose to purchase that with which they are familiar. Posters and other materials that are given to preservice teachers or hang on the walls are intended to sway future decisions, and additionally, they can serve to customize individuals to commercial products in classrooms. Of course, these examples can be found throughout the university, however, other professionals will not be in the position to make decisions that have significant influence on young learners.

Conclusion

The situation that we find ourselves in is not new, but should we be concerned about these situations? Bennis (1990) observed, "America has always been at war with itself. We have always dreamt of community and democracy but always practiced individualism and capitalism" (p. 102). It is not enough to recognize the dilemma, when our children are at stake, for it will take a loud and constant voice to change the way this trend is growing exponentially.

What can be done? The GAO (2000) found that individual school districts are setting their own standards, and that they vary widely, and that no one source exists that describes policies around the country. Individuals have had some success in calling school boards' attention to decisions that have implications of commercialization, but it is an uncertain and slow manner in which to influence change. One step was taken in September, 1999, when Representative George Miller introduced a bill to ban the collection of any information in school from any student under 18 for commercial purposes without first getting written permission from parents.

Colleges of education could make a strong statement by encouraging a dialogue about the circumstances of commercialization, by promoting positive and reciprocal partnerships, and by including some of the following suggestions:

  • Encourage examination of curriculum from multiple perspectives, including biases presented or voices not represented. This might take the form of assuming others' roles, investigating events through primary documents, and challenging statements that appear to favor the perspective of the materials' developer.
  • Create rubrics for acceptance of "free" materials. The process for developing this could be a useful activity for groups and would also heighten the awareness of the larger educational community.
  • Teach search and evaluation skills in preservice education, and reintroduce information literacy into K-12 curriculum. With the easy availability of an abundance of information, especially on the WWW, it is extremely important to create cautious and skeptical consumers of all information.
  • Engage all stakeholders in this discussion, including parents, policy makers, and students themselves in the K-12 schools, and professors, preservice educators, and administrators in colleges of education. Decisions that are made collaboratively will have some logic and standards that everyone has agreed upon, rather than decisions being made by one person in a cavalier manner.

The seriousness of this issue is clear. Kozol declared, "When business enters education…it sells something more important than the brand names of its products. It sells a way of looking at the world and at oneself" (1992, p. 277). As a society, we must decide if we wish our children to grow up believing commercialism is a normal way of life, or if we can encourage our students to think in other directions. Put another way, do we want public schools to be promoting concern for the public good, or for materialistic attitudes (McCarthy, 1995)?

References

Beder, S. (1998). The corporate infiltration of science education. School Science Review, 80(290). [Online]. Available: http://%20www.ase.org.uk/publish/jnews/ssr/bedersep98.html

Bennis, W. (1990). Why leaders can't lead: The unconscious conspiracy continues. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Boyles, D. (1998). American education and corporations: The free market goes to school. New York: Garland Publishing.

Center for commercial-free public education. (1999). [Online]. Available: http://www.commercialfree.org/

Grierson, B. (Summer, 1999). Brand names in textbooks. Adbusters, 1999, p. 33. [Online]. Available: http://adbusters.org/campaigns/commercialfree/toolbox/textbooks.html

General Accounting Office. (2000). Public education: Commercial activities in school (GAO/HEHS-00-156). Washington, DC: Author.

Kaplan, G.R. (1996). Profits r us: Notes on the commercialization of America's schools. Phi Delta Kappan, 78(3), pK1-K12.

Kozol, J. (1992). Whittle and the privateers: Children in America's schools. New York: Harper Perennial.

McCarthy, M.M. (1995). Private investment in public education: Boon or boondoggle? Journal of School Leadership, 5(1), 4-21.

McLaughlin, J. (1994). Privatization trend likely to continue. School Board News (June 7), 4-5.

Molnar, A. (1996). Giving kids the business: The commercialization of America's schools. Boulder, CO: Westview Press.

Parravano, C. (2001). The school-business partnership: What can it offer? Eisenhower National Clearinghouse Focus, 8(1), 14-16.

Wartella, E. (1995). The commercialization of youth: Channel One in context. Phi Delta Kappan, 77(5), 448-451.

You, A. (2001). Guidelines for effective partnerships. Eisenhower National Clearinghouse Focus, 8(1), 18-19.

Web Sites for further information:

Center for the Analysis of Commercialism in Education (CACE)
http://www.asu.edu/educ/epsl/ceru
BadAds
http://badads.org/
Center for Commercial-Free Public Education
http://www.commercialfree.org/
The Media Literacy Online Project
http://interact.uoregon.edu/MediaLit/HomePage
The Just Think Foundation
http://www.justthink.org/
American Academy of Pediatrics: Children, Adolescents and Advertising
http://www.aap.org/policy/00656.html
Consumer Reports Center for Children, Youth, and Families
http://www.zillions.org/

Contact Information:

Lynne Schrum
Department of Instructional Technology
604 Aderhold Hall
University
of Georgia
Athens, GA USA
lschrum@coe.uga.edu

Sunday, May 20, 2007

Manajemen Sekolah Berbasis Perubahan Kurikulum

Manajemen Sekolah BerbasisPerubahan Kurikulum
Oleh

1. Pendahuluan
Pengembangan dan perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan yang amat penting dalam memperbaiki proses pendidikan. Pengelola, praktisi, dan peneliti pendidikan diharuskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan dan perbaikan program-program efektivitas sekolah secara seksama. Yang dimaksud efektivitas sekolah di sini adalah pengembangan konsep fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan sebagai kapasitas sekolah untuk memaksimumkan pencapaian pelaksanaan fungsi-fungsi sekolah sehingga sekolah mampu menampilkan kinerjanya apabila diberikan sejumlah masukan.
Dalam perspektif model masukan (input) dan keluaran (output) pendidikan, efektifitas sekolah sering diasumsikan sebagai suatu kombinasi atau perbandingan antara apa yang telah dihasilkan sekolah (school output) dan apa yang telah dimasukkan ke dalam sekolah (school input). Berdasarkan perspektif ini, Lockheed (1988) mengatakan jika masukan sekolah dan proses sekolah (jumlah buku teks, organisasi kelas, strategi mengajar, profesional pelatihan guru, dsb) ditetapkan sebagai non-monetary input, maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan non-monetary input sekolah dapat disebut sebagai efektivitas sekolah. Hal ini berbeda dengan efisiensi sekolah, yaitu jika masukan sekolah ditetapkan sebagai monetary input (biaya buku, gaji guru/pengelola, biaya per siswa, dsb.), maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan monetary input sekolah dapat disebut sebagai efisiensi sekolah.
Perubahan lingkungan pendidikan dapat dilihat dari perubahan berbagai macam kebutuhan siswa, harapan masyarakat yang tinggi dan tuntutan kebijakan pendidikan yang sangat kuat terhadap perubahan pendidikan, tidak hanya pada tingkat nasional, melainkan juga pada tingkat sekolah. Berbagai usaha telah dilakukan oleh lembaga, kelompok, atau individu dalam melakukan perubahan kurikulum baik pada tingkat nasional maupun sekolah. Namun, perubahan tersebut belum memberikan hasil maksimal terhadap perubahan keluaran pendidikan. Perubahan kurikulum sebagai suatu bentuk perubahan yang direncanakan di sekolah dapat memberikan perlawanan, dan kemudian penerapannya dapat dipengaruhi oleh perbedaan faktor-faktor organisasi (Cheng dan Ng, 1991a).
Walaupun terdapat beberapa penelitian tentang evaluasi kurikulum, namun hasil penelitian tersebut sangat sedikit yang memberi petunjuk pada praktisi dan peneliti pendidikan dalam menerapkan dan mengatur perubahan kurikulum. Karena kurangnya kontribusi hasil penelitian, penerapan perubahan kurikulum pada konteks organisasi sekolah tidak dapat mempengaruhi faktor multilevel terhadap efektivitas sekolah. Tanpa suatu model teori yang menghubungkan antara faktor organisasi sekolah dan perubahan kurikulum, sangat sukar memahami dinamika dan efektivitas perubahan sekolah.
Terdapat dua konsep mekanisme manajemen berbasis sekolah (MMBS) untuk memahami dan mengatur perubahan kurikulum. Pertama, mengklarifikasi bagaimana konsep-konsep kurikulum, efektivitas kurikulum dan perubahan kurikulum pada perbedaan level, dan kedua, menggambarkan bagaimana MMBS dapat berkontribusi pada manajemen dan efektivitas pengembangan dan perubahan kurikulum.

2. Konsep Efektivitas Kurikulum
Penafsiran konsep kurikulum bagi peneliti dan praktisi pendidikan dapat berbeda satu sama lain. Secara umum, konsep kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu spesifik rangkaian pengetahuan, keterampilan dan kegiatan untuk disampaikan kepada siswa. Penafsiran lain, konsep kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang direncanakan sebagai panduan guru untuk mengajar dan siswa untuk belajar. Dalam penerapannya, penafsiran ini dapat ditetapkan lebih lanjut dalam tiga level apakah (1) sebagai kurikulum nasional pada level nasional, (2) sebagai kurikulum sekolah pada level sekolah, dan (3) sebagai kurikulum mata pelajaran pada level mata pelajaran. Apabila konsep ini dibatasi pada level sekolah, maka kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan konten pada level individu siswa, level program, atau level sekolah untuk memandu guru melakukan tugas mengajar dan siswa melakukan tugas belajar. Diskusi tentang perubahan kurikulum melalui manajemen berbasis sekolah hanya membahas pada level sekolah.
Untuk memperluas wawasan pemikiran, perubahan dan pengembangan kurikulum bertujuan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar dan belajar melalui perubahan konten yang direncanakan, kegiatan dan rencana perbaikan proses pendidikan. Jika cara berpikir ini diterima, diskusi perubahan kurikulum dapat dihubungkan dengan konsep efektivitas kurikulum. Konsep ini mengundang kritik karena sulit diketahui efektivitas kurikulum bagi guru mengajar dan bagi siswa belajar. Kritik selanjutnya, apakah faktor lain mampu mengkontribusi efektivitas kurikulum. Konsepsi tentang efektivitas kurikulum dapat dilihat pada Gambar 1 struktur efektivitas kurikulum (Cheng, 1986a).
Gambar 1. Struktur Efektivitas Kurikulum
Berdasarkan struktur ini, suatu kurikulum dikatakan efektif jika dapat berinteraksi secara tepat dengan kompetensi guru. Interaksi ini mampu memfasilitasi kinerja guru, membantu siswa dalam mengukur pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhannya, dan memproduksi outcome pendidikan yang diharapkan. Karakteristik awal kurikulum seperti tujuan nasional, tujuan sekolah, manajemen sekolah, isi mata pelajaran, sumber dan teknologi pendidikan dapat dijadikan dasar sebagai kurikulum sekolah. Struktur tersebut menyarankan bahwa evaluasi efektivitas kurikulum dapat meliputi kriteria proses dan outcomes seperti kinerja guru, hasil dan pengalaman belajar siswa. Variabel yang dapat dimanipulasi, diubah atau dikembangkan oleh peneliti dapat memperbaiki kinerja guru dan outcomes sekolah serta pengalaman belajar siswa adalah variabel yang erat hubungannya dengan efektivitas kurikulum dan kompetensi guru.
3. Pendekatan Perubahan Kurikulum
Pengembangan konsep efektivitas kurikulum, dapat dikategorikan menjadi tiga macam pendekatan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar dan belajar di sekolah melalui perubahan kurikulum sebagai berikut.
Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik. Kurikulum dapat dikembangkan atau diubah secara simplistik pada level individu siswa, program, atau level sekolah. Perubahan ini dapat disesuaikan dengan kondisi level tersebut dengan berpedoman pada kompetensi guru dan karakteristik siswa sebagai dasar untuk mencapai tujuan sekolah. Pendekatan ini berasumsi bahwa guru adalah pasif, kompetensi guru adalah statis, dan perubahan kurikulum dapat direncanakan dan diterapkan secara efektif oleh pengelola sekolah atau tenaga ahli dari luar sekolah.
Pendekatan Pengembangan Kompetensi Guru. Kompetensi guru dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pendekatan ini berasumsi bahwa perubahan kurikulum dibebankan oleh pengelola pendidikan atau tenaga ahli dari luar. Kompetensi guru dapat dikembangkan secara mudah untuk memuaskan semua kebutuhan dan kurikulum sekolah.
Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamis. Kedua pendekatan kurikulum (simplistik dan kompetensi guru) dapat dikembangkan dan diubah secara aktif dan dinamis dengan memaksimumkan efektivitas pelaksanaan kurikulum melalui fasilitas pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi bahwa: efektivitas kurikulum adalah suatu konsep dinamis yang melibatkan siklus keberlanjutan dan proses perubahan kurikulum dan kompetensi guru; kurikulum dapat dikembangkan dan diubah secara efektif ketika guru (yang menerapkan) selalu dilibatkan dalam proses; kompetensi guru dapat dikembangkan tidak hanya untuk memuaskan pada tuntutan kurikulum yang ada atau kurikulum yang diubah melainkan juga untuk mengembangkan kurikulum yang lebih tepat untuk menyesuaikan karakteristik siswa, tujuan sekolah, dan kondisi sekolah; dan perubahan efektivitas kurikulum dapat dilibatkan tidak hanya pengelola pendidikan atau tenaga ahli dari luar tetapi juga guru-guru untuk membantu dalam menyusun perencanaan kurikulum dan pembuatan keputusan.
Perbandingan antara ketiga pedekatan tersebut dapat dilihat Tabel 1. Pendekatan pertama dan kedua menerapkan program jangka pendek. Keduanya memiliki perspektif secara mekanik yang dapat membantu dan menerapkan perubahan kurikulum. Kedua pendekatan ini menghindari dinamika alamiah dari perubahan kurikulum dan pengembangan guru serta pentingnya aturan kegiatan guru, keterlibatan dan komitmen perencanaan kurikulum dan pengembangan profesi guru. Karena menghindari dinamika alamiah, perubahan kurikulum melalui dua pendekatan ini tidak dapat membawa efektivitas jangka panjang untuk pengajaran dan pembelajaran. Bahkan, jika ini tidak dilakukan, akan menimbulkan frustrasi guru melalui perlawanan dan protes (Cheng and Ng., 1991a). Pendekatan ketiga betul-betul bersifat aktif, dinamis dan alamiah sesuai dengan tuntutan kompetensi dan partisipasi guru dalam keterlibatan perencanaan kurikulum, serta bertujuan jangka panjang, berlanjut, dan bersiklus.
Tabel 1 Perbandingan Antara Pendekatan-pendekatan Simplistik, Kompetensi Guru, dan Dinamika dalam Perubahan Kurikulum
Jenis Pendekatan
Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik
Pendekatan Pengemb. Kompetensi Guru
Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamika
Perubahan alamiah
· Perubahan satu arah
· Perubahan satu arah
· Perubahan dua arah dan dinamis
Fokus perubahan
· Kurikulum
· Kompetensi guru
· Kurikulum dan kompetensi guru
Cara memaksimum-kann efektifitas
· Kurikulum mengadaptasi guru dan siswa
· Adaptasi guru dengan perubahan kurikulum
· Kurikulum dan guru dapat dikembangkan
Penginisiatif perubahan
· Perubahan direncanakan oleh pengelola atau ahli dari luar
· Perubahan dilakukan oleh pengelola dan ahli dari luar
· Partisipasi guru dalam perubahan perencanaan
Aturan guru
· Penerapannya pasif
· Penerapannya pasif
· Penerapannya aktif dan berencana
Kerangka waktu
· Jangka pendek
· Jangka pendek
· Jangka panjang, berlanjut, dan siklus
Pendekatan perubahan kurikulum perlu menggunakan suatu perspektif jangka panjang. Perspektif ini memerlukan konsistensi konsep strategi manajemen sekolah dengan analisis multilevel di sekolah dan menekankan pengembangan staf pada level individu, kelompok dan sekolah. Aturan dan partisipasi guru diasumsikan betul-betul amat penting dalam perencanaan dan perubahan kurikulum. Pendekatan ini mencari bentuk yang lebih meyakinkan untuk mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran melalui perubahan dan pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.
Pendekatan dinamis lebih memiliki kekuatan dalam perubahan konsepsi pengembangan kurikulum. Seperti yang telah disebutkan di atas, perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru, yang tercakup dalam pendekaan dinamis, adalah amat penting untuk pengembangan efektivitas pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Pertanyaannya adalah bagaimana inisiatif sekolah untuk mempertahankan efektivitas pencapaian pengajaran dan pembelajaran yang telah dirancang sesuai dengan tujuan-tujuan sekolah? Bagaimana pelaksanaan MMBS mampu mengkontribusi pendekatan perubahan kurikulum?
Bila menggunakan konsep dinamis kurikulum, semua bentuk perubahan kurikulum yang terjadi dalam suatu kontek organisasi meliputi antara lain faktor guru, norma kelompok, struktur organisasi, budaya sekolah, pemberian insentif/gaji, dan kepemimpinan. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru apabila terdapat faktor-faktor organisasi? Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, MMBS dapat berinisiatif dan menyokong suatu proses berlanjut untuk pengembangan sekolah yang meliputi perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru. Didasarkan pada konsep manajemen pada level individu, kelompok dan sekolah, kontribusi MMBS terhadap perubahan kurikulum dapat dilihat pada Gambar 2 dan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Gambar 2. Model Organisasi Perubahan Kurikulum
Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru terjadi dalam tiga level kontek organisasi sekolah yang meliputi level individu, level kelompok/program, dan level sekolah. Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru merupakan pengembangan mutual yaitu dikembangkan satu sama lain dan diperkuat oleh setiap tiga level konten organisasi sekolah dalam waktu jangka panjang. Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru pada level individu dipengaruhi oleh hirarki level kelompok atau program dan level sekolah secara menyeluruh. Efektivitas perubahan kurikulum pada level kelas atau individu (yaitu: pengaruh pada pengajaran dan pembelajaran) ditetapkan secara langsung oleh interaksi antara perubahan kurikulum dan kompetensi guru dan karakteristik siswa dan kelas; dan juga dipengaruhi secara langsung oleh perubahan kurikulum dan pengembangan guru pada level kelompok/program dan pada level sekolah secara menyeluruh. Berdasarkan prinsip kesesuaian MMBS, efektivitas perubahan kurikulum dapat dipengaruhi oleh dua bentuk kesesuaian: (1) kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru dan (2) kesesuaian antara level. Kedua kesesuaian ini membentuk suatu matrik kesesuaian seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Kesesuaian ditetapkan dalam konsep (kognitif) konsistensi dalam tujuan, objektif, nilai, dan asumsi (tentang perubahan, pengembangan, manajemen, pengajaran, dan pembelajaran) dan konsistensi dalam operasional (tentang koordinasi, perluasan yang baik, kesesuaian refleksi kekuatan iklim sekolah, yaitu kekuatan tukar menukar nilai, kepercayaan, dan asumsi di antara anggota (Schein 1992) dan dipercaya untuk menetapkan efektivitas sekolah (Beare, et.al., 1989; Cheng, 1993h). Kesesuaian di antara level dan antara level merupakan perubahan dan pengembangan efektivitas perubahan kurikulum untuk pengajaran dan pembelajaran di sekolah.
Tabel 2 Matrik Kesesuaian
4. Perbedaan Karakteristik
Perbedaan karakteristik perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru adalah suatu perbedaan level yang dibentuk oleh variasi dari faktor-faktor organsisasi, pada level individu, program, dan sekolah. Perubahan kurikulum pada level individu sering dilakukan dengan individu kurikulum, basis kelas/basis kemampuan, dan reviu serta evaluasi kurikulum. Pengembangan kompetensi guru sering dilakukan dengan individu melalui evaluasi formatik atau supervisi klinik guru (Bollington, Hopkins dan West, 1990; Cheng, 1993d; Valentine, 1992).
Fokus perubahan kurikulum pada level program adalah program instruksional yang menunjukkan suatu rangkaian unit kurikulum seperti kurikulum berbasis mata pelajaran atau kurikulum berbasis format untuk beberapa tujuan program spesifik. Misalnya, program pendidikan sains meliputi unit kurikulum seperti biologi, fisika, dan kimia. Secara umum, banyak program pengajaran dan program nonpengajaran diterapkan dalam suatu sekolah. Mekanisme perubahan kurikulum pada level ini dapat disusun dengan program perencanaan, struktur, kebijakan, dan reviu/evaluasi (Cheng, 1993d). Secara khusus, perencanaan pengajaran sebagai komponen kritis adalah suatu proses dari arahan program pengembangan dan objektifitas kurikulum, pengembangan kegiatan dan konten pengajaran dan pembelajaran, sumber dan fasilitas pengajaran organisasi dan perancangan prosedur implementasi. Pengembangan kompetensi guru pada level kelompok meliputi kelompok, tim berbasis atau program tim pengembang (Dyer, 1987; Maeroff, 1993). Mekanisme pengembangan terdiri dari hubungan kelompok, kepemimpinan, norma dan refleksi dan belajar. Untuk membangun suatu program secara khusus diperlukan pengembangan tim/kelompok.
Secara keseluruhan sekolah, perubahan dan pengembangan kurikulum pada level sekolah dapat diarahkan melalui strategi manajemen sekolah atau perencanaan pengembangan sekolah dengan menekankan pada analisis internal sekolah dan lingkungan eksternal dan perspektif jangka panjang (Hagreaves dan Hopkins, 1991). Komponen penting yang dapat mengkontribusi perubahan kurikulum meliputi perencanaan kolaborasi, perencanaan sekolah (termasuk misi sekolah, tujuan, kebijakan, dan strategi), struktur sekolah dan evaluasi/reviu sekolah. Pengembangan guru pada level ini adalah pengembangan guru secara menyeluruh. Kontribusi komponen terhadap pengembangan guru dapat meliputi manajemen sumber daya manusia, manajemen program pengembangan staf, manajemen partisipasi, budaya organisasi, interaksi sosial, kepemimpinan dan organisasi belajar.
Perubahan kurikulum pengembangan kompetensi guru berfokus pada dua perbedaan aspek dari efektivitas persekolahan. Pertama, aspek struktur dan perencanaan dan kedua aspek manusia. Kedua aspek ini dapat didasarkan pada MMBS. Mekanisme ini meliputi manajemen strategi pada level sekolah dan manajemen praktis pada level kelompok dan individu. Manajemen strategi adalah suatu proses yang dapat menggunakan sekolah sebagai suatu kesatuan hubungan yang tepat untuk lingkungannya, memperbaiki kinerja sekolah, mencapai tujuan sekolah dan memenuhi syarat misi sekolah. Manajemen praktis lebih menekankan pada pendekatan kelompok atau individu perorangan. Manajemen persekolahan meliputi kesesuaian komponen seperti analisis lingkungan, perencanaan dan struktur, ketetapan pengarahan guru/staf, dan konstruksi monitoring dan evaluasi. Komponen ini merupakan suatu siklus proses belajar yang mengkontribusi pada pengembangan kurikulum berlanjut dan pengembangan staf pada level individu, program/kelompok dan sekolah.
Manajemen pada level kelompok dan level individu juga merupakan suatu siklus proses belajar yang memberi dukungan pada siklus perubahan kurikulum dan pengembangan staf pada dua level ini. Gambar 3 memperlihatkan sebuah contoh proses siklus pada level program yang meliputi program analisis, perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi. Proses siklus memberikan suatu mekanisme untuk mengubah dan mengembangkan kurikulum pada level program.
Gambar 3Contoh Proses Siklus pada Level Program
Lama setiap proses siklus pengembangan kurikulum dapat berbeda dari satu tahun sampai tiga tahun sesuai dengan perbedaan antara level, program, dan individu. Secara strategi, proses siklus pada level sekolah mengarah pada level program dan individu, dan level program dapat mengarah pada level individu. Proses siklus ini memberi kesempatan pada perbaikan berlanjut, pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.
Kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru dan kesesuaian antara level tentang konsistensi konsep dan operasional pelaksanaan merupakan hal yang amat penting untuk meyakinkan efektivitas perubahan kurikulum. Kesesuaian sering diyakini melalui pengembangan misi sekolah, tujuan dan kebijakan sekolah, dan tukar pikiran/informasi di antara nilai-nilai sekolah, kepercayaan dan asumsi di antara anggota sekolah. Oleh karena itu, pengembangan budaya sekolah tentang efektifitas persekolahan perlu ditekankan (Beare, et.al., 1990b; Cheng, 1993h, Schein, 1992).
5. Kepemimpinan dan Partisipasi
Penggunaan MMBS sebagai ukuran efektivitas manajemen sekolah terhadap perubahan kurikulum, tingkat dan strategi kepemimpinan merupakan hal yang amat penting dan diperlukan dalam pengelolaan pendidikan baik di tingkat pusat, wilayah, kabupaten maupun di tingkat sekolah. Secara khusus, kepemimpinan adalah tanggungjawab bagi pemimpin untuk memfasilitasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran, serta mengkordinasi pelaksanaan kurikulum antara level individu, program dan sekolah. Untuk meyakinkan kesesuaian penentuan misi dan tujuan sekolah, manajemen program pengajaran dan pembelajaran dapat mempromosikan suatu iklim mengajar dan belajar yang positif dan kondusif bagi sekolah. Dengan demikian, kepemimpian sekolah amat penting dan tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh (Hallinger and Murphy, 1987).
Kesuksesan perubahan kurikulum melibatkan transformasi perilaku guru, skill, motivasi, konsep dan percaya tentang manajemen pengajaran dan pembelajaran. Oleh sebab itu, transformasi kepemimpinan adalah suatu komponen amat penting untuk memproses perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru. Kepemimpinan pengajaran dan pembelajaran serta kepemimpinan transformasional telah dijadikan suatu konsep perubahan dari tingkat dan strategi kepemimpinan.
Partisipasi dan kepemimpinan guru ditentukan oleh efektivitas persekolahan dan perubahan pendidikan (Conley and Bacharch, 1990; Lieberman, 1988; Mortimore, 1993). Dalam perencanaan dan manajemen perubahan kurikulum pada level individu, program atau sekolah, partisipasi guru (dan juga partisipasi orang tua, siswa atau alumni) merupakan kontribusi yang cukup besar bagi perubahan kurikulum: (1) memberi informasi pentingnya sumber daya manusia bagi partisipan tentang pengalaman, pengetahuan dan keterampilan untuk menyusun perencanaan lebih baik dan menerapkan perubahan kurikulum; (2) menghasilkan kualitas keputusan yang tinggi dan perencanaan perubahan kurikulum yang baik dengan melibatkan perbedaan perspektif dan keahlian; (3) mempromosikan tanggungjawab yang lebih besar, akuntabilitas, komitmen dan dukungan kuat untuk menerapkan dan menghasilkan perubahan kurikulum; (4) berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi suatu format tentang arti pengembangan atau pembangunan budaya; (5) berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi kesempatan bagi individu dan kelompok untuk memperkaya pengalaman dan mengharapkan pengembangan profesional; (6) berpartisipasi dalam perencanaan dan pembuatan keputusan pada perubahan kurikulum, memberi informasi yang lebih banyak, mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengatasi perlawanan secara teknis dan psikologis tentang perubahan pelaksanaan ketidakefektifan pada setiap perbedaan level; dan (7) berpartisipasi dalam perencanaan untuk membantu meyakinkan kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru diantara level secara efektif.
Berdasarkan analisis di atas, MMBS mampu memberi suatu kerangka komprehensif untuk melakukan manajemen perubahan kurikulum. Pelaksanaan kurikulum dalam manajemen berbasis sekolah dapat memberi informasi praktis sebagai bahan renungan, perbandingan dan diskusi bagi pengelola, peraktisi dan peneliti pendidikan.
6. Kesimpulan
Manajemen sekolah berbasis perubahan kurikulum adalah suatu wacana pemikiran yang berlandaskan pada konsep pengembangan efektivitas sekolah. Melalui manajemen seperti ini, pengembangan efektivitas sekolah dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengklasifikasi bagaimana konsep-konsep kurikulum, efektivitas kurikulum, dan perubahan kurikulum pada level individu siswa, level program, dan atau level sekolah. Oleh sebab itu, jika manajemen berbasis sekolah, pengembangan efektivitas sekolah, dan perubahan kurikulum merupakan hubungan yang cukup kuat dalam melakukan kontribusi perubahan kurikulum, maka hubungan tersebut akan menjadi hubungan struktur efektivitas kurikulum.
Melalui pengembangan struktur efektivitas kurikulum, perubahan kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tiga macam pendekatan: (1) pendekatan perubahan kurikulum simplistik; (2) pendekatan pengembangan kompetensi guru; dan (3) pendekatan perubahan kurikulum dinamis. Untuk mencapai ketiga pendekatan ini, berbagai jenis kendala yang perlu dilakukan, diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau penyebab perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan, aturan guru dan kerangka waktu pelaksanaan. Namun demikian, kesuksesan perubahan kurikulum amat penting untuk melakukan transformasi perilaku guru, skill, motivasi, konsep dan percaya pada manajemen pengajaran dan pembelajaran yang dia akan lakukan. Oleh sebab itu, perencanaan manajemen perubahan kurikulum di level sekolah, partisipasi atau keterlibatan guru, orang tua atau masyarakat, siswa, dan alumni amat penting kontribusinya dalam melakukan pengembangan efektivitas sekolah.
Pustaka Acuan
Beare, H. et.al. 1989. Creating an Excellent School. London, Routledge & Kegan Paul.
Bollington, R., Hopkins, D. and West, M. 1990. An Introduction to Teacher Appraisal. London, Cassel.
Cheng, Y.C. 1986a. A framework of curriculum effectiveenss. Educational Journal, 13, 2, pp. 49-55.
Cheng, Y.C. 1993d. Planning and Structuring for Development and Effectiveness. Hong Kong, The Chinese University of Hong Kong.
Cheng, Y.C. 1993h. Profiles of organisational culture and effective schools. School Effcetiveness and School Improvement. An International Journal of Research, Policy and Practice, 4, 2, pp. 85-110.
Cheng, Y.C. and Ng. K.H. 1991a. School organisational change: Theory, strategy, and technology. Educational Journal, 19, 2, pp. 133-44.
Conley, S. and Bacharach, S. 1990. From school-site management to participatory school-site management. Phi Delta Kappan, 71, 7, pp. 539-44.
Dyer, W.G. 1987. Team Builidng: Issues and Alternatives (2nd ed). Addison Wesley, MA.
Hallinger, P. and Murphy, J.F. 1987. Assessing and developing principal in structural leadership. Educational Leadership, 45, 1, pp. 54-61.
Hagreaves, D.L. and Hopkins, D. 1991. The Empowered School. London, Cassel.
Lieberman, A. (Ed.). 1988. Building a Professional Culture in Schools. New York, Teacher College Press, Columbia University.
Lockheed, M.E. 1988. The mesurement of educational efficiency and effectiveness. Paper presented at the annual meeting of AERA, New Orleans.
Maeroff, G.I. 1993. Team Building for School Change. New York, Teacher Colleges Press, Columbia University.
Mortimore, P. 1993. School effectiveness and the management of effective learning and teaching. Paper presented at the International Congress for School Effectiveness and Improvement, Sweden; Norrkoping.
Schein, E.H. 1992. Organisational Culture and Leadership (2nd ed). San Francisco, CA ; Jossey-Bass.
Valentine, J.W. 1992. Principles and Practices for Effective Teacher Evaluation. Boston, MA; Allyn & Bacon

diambil dari: Burhanuddin Tola (Kepala Bidang Pengembangan Kemampuan Teknis dan Pelayanan Pengujian, Pusat Pengujian Balitbang Diknas.)